Netizen Indo – Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Tengah II angkat bicara terkait polemik yang melibatkan pemilik UD Pramono, yang uangnya sebesar Rp670 juta dibekukan akibat tunggakan pajak. Kasus ini sempat mencuat ke publik setelah sebelumnya Pramono disebut-sebut memiliki tunggakan pajak yang sangat besar, bahkan hingga mencapai Rp2 miliar.
Kepala Kanwil DJP Jateng II, Etty Rachmiyanthi, menyatakan bahwa klaim Pramono tentang tunggakan pajak yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku adalah hal yang tidak masuk akal. Etty menjelaskan bahwa dalam proses pemeriksaan pajak, ada mekanisme yang jelas untuk membahas hasil temuan antara pemeriksa pajak dan wajib pajak. Jika wajib pajak dapat menunjukkan bukti-bukti pendukung, maka jumlah pajak yang terutang bisa saja berkurang.
“Proses pemeriksaan melibatkan mekanisme pembahasan hasil temuan antara pemeriksa pajak dan wajib pajak. Jika bukti yang diberikan cukup kuat, jumlah pajak yang harus dibayar bisa dikurangi,” ujar Etty saat memberikan penjelasan kepada media.
Namun, mengenai pernyataan Pramono tentang perbedaan jumlah pajak yang dikenakan pada tahun 2019 dan 2020, Etty tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Etty menekankan bahwa dalam sistem perpajakan Indonesia, setiap wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar pajak penghasilan setiap tahun. Selain itu, dia menegaskan bahwa DJP tidak melakukan praktik tawar-menawar dalam urusan perpajakan dan selalu menjunjung tinggi kode etik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kesempatan itu, Etty juga menjelaskan bahwa dalam proses pelunasan tunggakan pajak, wajib pajak memiliki hak untuk melakukan angsuran pembayaran dalam waktu maksimal 12 bulan. Hal ini memungkinkan wajib pajak untuk melunasi kewajiban mereka secara bertahap tanpa terbebani oleh pembayaran sekaligus. “Apa yang disampaikan oleh wajib pajak terkait angsuran adalah langkah pertama dalam penyelesaian tunggakan pajak mereka,” jelasnya.
Klaim Pramono: Selalu Taat Pajak
Pramono sendiri mengaku bahwa dia selalu taat membayar pajak tepat waktu. Bahkan, setiap tahunnya, dia selalu datang ke kantor pajak untuk membayar pajaknya. Karena pendidikannya yang terbatas (hanya tamatan SD), Pramono mengaku membutuhkan bantuan dari petugas pajak dalam proses perhitungan dan administrasi pajak. Dia mengatakan bahwa pada tahun 2015 hingga 2017, dia membayar pajak sekitar Rp10 juta per tahun. Namun, pada tahun 2018, karena persaingan yang semakin ketat dalam bisnis susu, dia meminta agar pajaknya dikurangi menjadi Rp5 juta per tahun.
Akan tetapi, setelah 2018, Pramono mengaku tidak mendapat informasi atau pemanggilan terkait pajaknya. Pada tahun 2021, ia tiba-tiba menerima surat tagihan pajak yang mengejutkan. Pramono mengungkapkan bahwa ketika ia memeriksa tagihan tersebut, jumlah yang tertera sangat tidak masuk akal—yakni Rp2 miliar. Padahal, pendapatan usaha Pramono hanya sekitar Rp110 juta per tahun. Ia merasa bingung dan menganggap hal ini sebagai kesalahan administrasi.
“Setelah dihitung, saya dikenakan pajak Rp2 miliar. Itu sangat tidak masuk akal. Selama ini saya hanya berbisnis dengan omzet sekitar Rp10 juta hingga Rp5 juta, jadi tagihan pajaknya harusnya tidak sebesar itu,” ujar Pramono.
Pramono melanjutkan, setelah tagihan pajak Rp2 miliar tersebut, ia kembali dipanggil oleh kantor pajak Solo dan diberitahukan bahwa jumlah tagihannya telah dikurangi menjadi Rp670 juta. Namun, meskipun tagihan berkurang, Pramono tetap merasa tidak sanggup untuk membayar jumlah tersebut.
“Akhirnya, saya dipanggil lagi dan disuruh tawar menawar. Namun, saya merasa itu tidak adil dan saya menolak. Mereka bilang kalau saya tidak mau bayar, aset saya akan disita,” tambah Pramono.
Rekening Pramono Diblokir
Kasus ini semakin rumit ketika pada 4 Oktober 2024, Pramono mendapati rekening bank Mandiri miliknya diblokir oleh KPP Pratama Boyolali. Pada saat itu, dia mendapat surat pemberitahuan untuk datang ke kantor pajak Boyolali guna membicarakan tunggakan pajak sebesar Rp670 juta. Pramono mengaku bahwa dia tidak sanggup membayar pajak sebesar Rp110 juta, yang dirasakannya sebagai beban berat.
“Saya tidak sanggup membayar Rp110 juta itu. Keuntungan saya selama ini sangat kecil. Itu sama saja membebani saya,” kata Pramono, yang mengaku bingung dan pusing dengan masalah pajak ini.
Pramono juga menambahkan bahwa sebelum rekeningnya diblokir, pada tahun 2022, dia sempat membayar pajak sebesar Rp24 juta dan bahkan menerima penghargaan dari kantor pajak karena dianggap taat membayar pajak. Namun, situasi yang dialaminya saat ini sangat membebani dan membuatnya berpikir untuk berhenti berbisnis.
Pramono berharap adanya kejelasan dan solusi atas permasalahan pajaknya ini. Sebagai seorang pengusaha kecil dengan pendapatan terbatas, dia merasa sangat kesulitan untuk memenuhi kewajiban pajaknya yang terus meningkat tanpa pemahaman yang cukup tentang peraturan perpajakan yang berlaku.